Jakarta-Firli Bahuri dan kawan-kawan jangan gede rasa dulu atas putusan MK soal perpanjangan masa jabatan. Sebab, eksekusi putusan ini masih menunggu proses legislasi di DPR.
Demikian Koordinator TPDI dan Anggota Peradi, Petrus Selestinus di Jakarta, Senin (29/5/2023).
“Untuk kesekian kalinya Hakim MK dalam Pertimbangan Hukum dan Amar Putusannya dikritik banyak pihak karena dinilai sebagai tidak konstitusional dan hanya masuk kepada persoalan praktis seperti menghitung masa tugas atau jabatan seseorang dan tentang usia pensiun ASN pada institusi tertentu,” kata Petrus.
Putusan MK yang demikian, katanya, jelas telah merendahkan keluhuran dan marwah MK, karena MK seharusnya hanya bicara soal-soal menyangkut hukum dasar atau konstitusi, bukan masuk ke soal reme teme yaitu soal perbedaan masa jabatan pimpinan Komisi Negara yang satu dengan yang lain, jadi sangat pragmatis.
Menurutnya, putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun, akan mengubah norma pasal 34 UU KPK, namun demikian putusan itu tidak serta merta diberlakukan pada pimpinan KPK eranya Firli Bahuri dkk. oleh karena putusan MK dimaksud masih perlu menunggu tindak lanjut melalui proses legislasi untuk mengubah bunyi pasal 34 UU No.19 Tahun 2019 Tentang KPK oleh DPR dan Pemerintah.
Masa jabatan pimpinan Komisi Negara di berbagai Komisi Negara bervariasi, ada yang 5 tahun tetapi banyak juga yang hanya 3 (tiga) tahun, ada yang hanya 4 (empat) tahun, seperti Kompolnas RI, Lembaga Perlindungan Konsumen, Komisi Kejaksaan, Komisi Perlindungan Perempuan dll. yang telah berlangsung bertahun-tahun dan tidak ada masalah dengan konstitusionalitas masa jabatan.
Tidak Serta Merta
Petrus menjelaskan, dalam pasal 10 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perindang-undangan menyatakan bahawa : “materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang, salah satunya berisi tentang tindak lanjut atas putusan MK, tindak lanjut putusan MK dilakukan oleh DPR atau Presiden. Artinya ketentuan pasal 10 dimaksud berlaku sama bagi semua materi muatan tanpa kecuali karena diharuskan oleh pasal 10 ayat (1) dan (2).
“Dengan demikian maka status pasal 34 UU No. 30 Tahun 2022, Tentang KPK yang dinyatakan dalam putusan MK, sebagai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, akan tetapi ketentuan pasal 34 itu masih tetap mempunyai daya laku sampai dengan DPR dan Pemerintah mengubahnya dalam proses perubahan pasal 34 UU KPK,” jelasnya.
Oleh karena itu, kata Petrus, Firli Bahuri dkk berikut kekuatan yang menghendaki Firli dkk harus menambah masa jabatannya 1 tahun lagi, jangan GR (gede rasa) dulu, karena untuk mengeksekusi amar putusan MK itu, harus menunggu proses legilasi di DPR dan Pemerintah yaitu mengubah narasi pasal 34 UU KPK yang dibatalkan itu sesuai dengan bunyi amar putusan MK, baru bisa dieksekusi.
“Model putusan MK seperti ini bisa memancing gelombang gugatan dari sebagian besar pimpinan Komisi Negara yang masa tugasnya hanya 3 atau 4 tahun, akan ramai-ramai menuntut perpanjangan masa jabatan agar seragam menjadi 5 tahun atas alasan diskriminasi dll,” tuturnya.
Kondisi demikian, katanya, nampak seolah-olah MK menggerogoti kekuasaan DPR membentuk UU menurut UUD 45 bergeser dari DPR ke MK, ini namanya kudeta kewenagnan DPR yang dijamin pasal 20 ayat (1) UUD 45 dan kudeta terhadap kedaulatan rakyat, mengingat pembentukan UU harus mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat.
“Padahal kewenangan membentuk UU harus mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat melalui DPR dan Pemerintah, sesuai amanat UU Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan, jadi janganlah MK menggerogoti dengan cara serta merta memberlakukan putusan terhadap ketentuan pasal 34 UU KPK dimaksud,” tegasnya.(sn-11)