Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data survei yang dilakukan melalui daring kepada 90.967 responden terkait penerapan protokol kesehatan 3 M atau mencuci tangan dengan sabun, memakai masker dan menjaga jarak serta menghindari kerumunan.
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 92 persen masyarakat patuh menggunakan masker. Sedangkan untuk mencuci tangan dan menjaga jarak berada pada angka 75 persen.
Secara umum, gambaran hasil survei tersebut menggembirakan, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam penerapan 3M seharusnya berada pada posisi ideal, yakni 3 komponennya berjalan secara paralel.
“Karena 3M ini pada posisi ideal, 3 komponennya harusnya berjalan secara paralel,” jelas Kepala BPS, Dr. Kecuk Suhariyanto dalam acara Rilis Hasil Survei Perilaku Masyarakat di Masa Pandemi COVID-19 di Media Center, Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Senin (28/9).
Lebih lanjut, menurut Kecuk, hasil survei yang diikuti oleh sebanyak 55 persen perempuan dan 45 persen laki-laki itu menunjukkan adanya peningkatan perilaku masyarakat dalam memakai masker sebanyak delapan persen dibanding pada hasil survei pada April lalu.
Akan tetapi, prosentase kepatuhan masyarakat terhadap perilaku mencuci tangan dan menjaga jarak serta menghindari kerumunan justru berbanding terbalik dan mengalami penurunan.
Oleh sebab itu, Kecuk berharap bahwa perlu adanya sosialisasi dan kesadaran lebih bagi masyarakat dalam upaya pencegahan penularan virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
“Karena menggunakan masker, dan tanpa tanpa menjaga jarak tentu tidak akan ada gunanya. Jadi ke depan, nampaknya kita perlu melakukan sosialisasi yang lebih, supaya masyarakat betul-betul menerapkan 3M ini secara paralel,” jelas Dr. Suhariyanto, seperti dirilis .Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Raditya Jati.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Doni Monardo mengatakan bahwa menurut data yang dihimpun tim Satgas, ada sebanyak 17 persen dari seluruh penduduk di Indonesia merasa tidak akan terpapar dan tidak percaya adanya COVID-19.
Padahal sebagaimana yang telah diketahui bahwa penularan COVID-19 itu terjadi melalui perantara manusia. Hal itu berbeda dengan flu burung atau flu babi, yang mana perantaranya adalah hewan.
Dalam hal ini, Doni juga menyebutkan bahwa pada tiap jengkal tanah di suatu wilayah yang terdapat kasus COVID-19 maka wilayah itu tidak aman dan memiliki potensi penularan. “COVID-19 ini ditulari atau media yang mengantarkan, itu bukan hewan, tetapi manusia,” jelas Doni.
“Nah, kalau seandainya yang 17 persen tadi, merasa tidak akan terpapar COVID, lantas ada di antara orang-orang terdekatnya itu sudah positif COVID ya, cepat atau lambat pasti akan tertular,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Doni juga menegaskan bahwa dalam melaksanakan upaya pencegahan penularan COVID-19 perlu adanya kontribusi seluruh instrumen, baik yang ada di pusat maupun di daerah berbasis pentaheliks.
“Inilah yang harus kita lakukan, bagaimana kita secara bersama-sama menggerakkan seluruh instrumen, baik yang ada di pusat, maupun di daerah, dengan kolaborasi pentahelix berbasis komunitas,” jelas Doni.
“Ini yang perlu kita pahami. Bahwa setiap orang berpotensi menulari satu sama lainnya,” katanya.(op-15)