Depok–Kota Depok harus dibangun di atas keberagaman, bukan di atas keseragaman. Sebab, 15 tahun terakhir memperlihatkan tergerusnya keberagaman dan justru semakin menguatnya politik identitas.
Hal ini terungkap dalam Ngobrol Politik yang dikemas dengan webinar “Pluralisme dan Kebijakan Publik di Depok”, Senin (21/9/2020). Acara yang diprakarsai Gerakan Depok Berubah (GDB) ini menghadirkan narasumber KH. Achmad Solechan (Ketua PCNU Depok), Irwan Firdaus (Alumni Sejarah UI), Yenny Sucipto ( Pengamat Anggaran dan Kebijakan Publik).
Ketua GDB Aan Rusdianto mengatakan, dalam momen Pilwakot 2020 ini, pihaknya mengagas seri webinar Ngobrol Politik Depok. Obrolan daring ini dimaksudkan sebagai refleksi warga depok dalam menentukan pemimpin baru di Depok. “Serial webinar ini akan dilaksanakan mingguan dengan tema seputar isu dan permasalahan Depok dari segala aspek kehidupan dan pembangunan Depok,“ kata Aan Rusdianto.
Menurut Irwan Firdaus, dari sisi sejarah, Depok sejak dulu sampai sekarang mempunyai keragaman suku dan etnis, bisa di lihat adanya Rumah Pondok Cina di Margo City sudah berdiri sebagai simbol multikultural di Depok, belum lagi adanya Pemindahan UI dan berdirinya Universitas Gunadarma menambah keragaman di Depok. Depok adalah kota yang dibangun di atas pluralisme dan keberagaman.
Dia menuturkan, Pancasila sebagai dasar bernegara yang digagas para pendiri bangsa sudah tepat, sehingga tinggal dilaksanakan. “Tidak perlu cari-cari lagi. Itu sudah ada. Tinggal dilansanakan saja,” tegasnya.
Kiai Achmad Solechan (Ketua PCNU Depok) yang biasa di sapa dengan Gus Lek, melihat dari sisi adanya potensi tergerusnya pluralisme dan toleransi bisa dilihat menguatnya politik identitas di Kota Depok selama 15 tahun ini tergambar jelas dari kebijakan Pemkot selama ini menguntungkan kelompok tertentu dan adanya kesengajaan dan pembiaran sehingga muncul berbagai ketidakadilan.
Gus Lek juga menegaskan NU akan terus menyuarakan perlunya merawat dan mengembangkan pluralisme di Depok. “Yang jelas NU akan terus mengembangkan pluralism di Depok ini,” tegasnya.
Yenny Sucipto pengamat anggaran dan kebijakan publik menyoroti masalah APBD yang merupakan pengejawantahan visi misi kepala daerah, APBD merupakan instrument Kesejahteraan Rakyat. Kesenjangan dan ketidakadilan sebagai bagian dari isu Pluralisme bisa dinilai dari pengelolaan keuangan daerah apakah Depok dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan, asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
Dia menuturkan, dalam Pilwakot ini hendaknya calon walikota dan wakil memiliki kemampuan dan keahlian (skill) mengelola anggaran dan mendorong membuat sistem pengelolaan yang transparan, akuntabel dan partisipatif.
Menanggapi pertanyaan Roy Pangharapan mengenai sisa anggaran yang sangat besar di Kota Depok, Yenny menjelaskan, ada sejumlah faktor penyebab dari persoalan seperti itu. Misalnya, kelemahan dalam menyerap anggaran atau melaksanakan program. Tapi, hal itu merupakan cerminan dari buruknya perencanaan.
Anggota DPRD dari PDIP, Ikravany Hilman yang hadir dalam diskusi ini juga mengungkapkan keresahan yang sama adanya potensi tergerusnya pluralisme di Depok. Selama 15 tahun ini, misalnya, perkembangan jumlah SMP Negeri sejak PKS berkuasa (2005) sampai sekarang hanya ada penambahan 9 SMP Negeri saja dari 17 SMP negeri menjadi 26 SMP Negeri, berbanding terbalik dengan penambahan SMP Swasta dari 114 menjadi 287 terjadi penambahan 173 dan SMP Swasta tersebut disinyalir banyak berafiliasi dengan partai penguasa saat ini.
“Ini menunjukkan Pembangunan di Depok selama 15 tahun tidak ada kemajuan yang berarti, hanya memajukan kelompok tertentu,” katanya.(op-11)