Jakarta– Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Prof Jamal Wiwoho mengatakan pascareformasi geliat mengenai pendidikan dan pemahaman nilai dalam Pancasila meredup. BPIP harus jadi tempat memberikan pemahaman-pemahaman terhadap masyarakat tentang perlunya implementasi.
Menurutnya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan penguatan terhadap badan itu adalah sebuah jawaban atas mendangkalnya pemahaman nilai-nilai Pancasila di masyarakat.
“Maka wadah yang di situ dinamakan BPIP adalah tempat kiranya untuk memberikan pemahaman-pemahaman terhadap masyarakat tentang perlunya implementasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” ujar Jamal, kepada pers, Jumat (10/7).
Jamal menilai pembinaan ideologi Pancasila sebaiknya diatur dalam payung hukum berbentuk Undang-Undang. Namun dia berharap itu nantinya tidak hanya mengatur soal penafsiran nilai-nilai terutama Pancasila di dalam norma Undang-Undang.
Karena menurutnya Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum yang tidak bisa dilekatkan ke dalam Undang-Undang saja, tapi juga dalam konteks ini Pancasila bisa dilekatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan mengatur hal-hal yang bersifat penguatan kelembagaan BPIP.
“Agar apa? Agar berperan aktif dan lebih berwibawa di dalam konteks bagaimana mengizinkan atau menggulirkan nilai-nilai Pancasila sehingga nilai-nilai itu bisa berlaku secara efektif di dalam Undang-Undang,” kata dia.
“Pembinaan ideologi Pancasila ini juga harus bisa memastikan bahwa bagaimana melakukan pemahaman penghayatan dan pengamalan terhadap Pancasila itu bukan menjadikan Pancasila bagian dari alat kekuatan pemerintah. Inilah yang penting bagaimana kemudian mendetail sebuah peraturan perundang-undangan yang namanya pembinaan ideologi Pancasila,” kata Jamal.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti sepakat bahwa Pancasila tidak boleh diperdebatkan dalam konteks penguatan BPIP ini. Namun, dia mengatakan Pancasila adalah ideologi yang bisa diterjemahkan secara terbuka. Oleh karena itu, akan ada banyak tantangan untuk mendekatkan atau mengimplementasikan Pancasila ke dalam kehidupan sehari-hari.
“Ya Pancasila tidak boleh diperdebatkan dalam konteks ini atau dibongkar pasal-pasalnya. Tapi saya kira pemaknaannya terbuka saja untuk diperdebatkan karena dia ideologi. Kalau masalah BPIP-nya sendiri saya kira ketika belajar tentang tata negara memang merupakan suatu praktik yang lazim dan sering kali diterapkan untuk menguatkan keberadaan suatu lembaga dalam sebuah Undang-Undang,” kata Bivitri.
Catatan yang perlu diperhatikan dalam pembuatan Undang-Undang tersebut, kata Bivitri, adalah perlunya debat politik yang terbuka di DPR oleh semua fraksi.
Sehingga ketika ada fraksi yang memiliki kekhawatiran mengenai komunisme atau neo liberalisme pengaruh dari luar, maka Bivitri menilai itu bisa diperdebatkan untuk mendesain bersama-sama BPIP seperti apa yang mau Indonesia miliki nantinya.
“Bahkan kalau ada yang punya kekhawatiran yang tadi saya sebut kita nggak mau ada BP7 yang mengideologisasi secara memaksa seperti dulu ya, kalau gitu kita evaluasi dulu BP7 kelemahannya dimana. Kemudian dituangkan ke dalam BPIP yang sekarang lebih baik. Nah jadi ini buat saya pentingnya mendiskusikan kembali, bangsa ini mau punya BPIP untuk apa dan bagaimana kita mendiskusikannya?” jelas Bivitri.
Sementara itu untuk memperkuat Pancasila di tengah masyarakat, Jamal menekankan perlunya proses sosialisasi terkait Undang-Undang penguatan BPIP agar diterima secara luas oleh masyarakat.
Jamal mengatakan para stakeholder dapat diajak bicara untuk menerima masukan, baik dari kaum intelektual, tokoh-tokoh agama dari lintas agama hingga tokoh lintas suku.
“Karena hakikatnya dalam konteks ini adalah bagaimana kalau Undang-Undang disahkan tetapi tidak ada yang merasa atau beranggapan untuk suku tertentu, agama tertentu, golongan tertentu, karena merasa tidak dilibatkan dalam proses ini. Jadi proses sosialisasi dan proses karbonisasi di kanal ini saya pikir perlu diperhatikan,” jelas Jamal.
Bukan Sosialisasi Semata
Sementara itu, Bivitri menilai sosialisasi disini bukan berarti sekedar menyampaikan ke masyarakat semata. Namun diperlukan dialog yang lebih masif pada masa jeda sebelum pembahasan RUU itu dilakukan kembali.
Terutama untuk mendengarkan argumen dari berbagai pihak yang tidak setuju terhadap RUU tersebut. Seperti misalnya kecurigaan Pancasila akan diperah menjadi Trisila atau Ekasila.
“Kita bisa kemudian gali dari semua kelompok untuk mempertanyakan, Pancasila seperti apa yang mau kita bina sama-sama? Kalau pun tidak mau ada pemaksaan ideologi satu dan lain sebagainya. Kira-kira bagaimana ini desain kelembagaan BPIP atau apapun yang nanti mau dirumuskan,” kata Bivitri.
“Nah dialog seperti itu yang saya kira harus masif betul dan benar-benar seperti dulu ketika pendiri bangsa mendiskusikan Pancasila. Semua kelompok juga kembali harus ikut untuk mendiskusikan kembali Pancasila dalam konteks yang sekarang,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Jamal menegaskan dalam RUU tersebut nantinya harus disepakati untuk tidak mendesain pasal-pasal penafsir dari pilar-pilar Pancasila. Juga memastikan larangan ideologi komunisme, marxisme, hingga leninisme berkembang.
“Yang penting tentu bagi saya adalah bagaimana penguatan pemanfaatan atau improvement partisipasi bukti di dalam RUU PIP itu atau muatan-muatan regulasi PIP itu sendiri,” kata Jamal.
Sementara itu, penting pula untuk dipastikan pembinaan ideologi Pancasila ini bukan sebagai alat-alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Bivitri menilai hal tersebut bisa dicegah dengan memastikan semua elemen bangsa ada dalam jajaran pengarah BPIP.
BPIP juga, kata Bivitri, perlu untuk menyasar dan menjadi saluran bagi masyarakat luas dalam menyampaikan permasalahan bersifat praktikal di lapangan. Menurutnya hal-hal semacam itu bisa diselesaikan dengan Pancasila.
“Misalnya kalau dari pengalaman pribadi, saya punya kesulitan mengukur apakah suatu perda itu sebenernya sesuai sama nilai Pancasila atau tidak. Karena kenyataannya banyak misalnya perda yang mengatur cara berbusana perempuan, bagi saya itu tidak Pancasilais kalau dipaksa atau dilarang berbusana tertentu, tentu saja tidak Pancasilais begitu. Kemudian bagaimana misalnya ketika ada ketidakadilan yang dialami oleh kelompok petani yang diusir dari lahannya. Nah barangkali perlu diatur bagaimana caranya BPIP bisa menyasar soal-soal yang seperti itu,” kata Bivitri.(op-15)