Jakarta-Perdebatan Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah selesai. Tapi, pelaksanaan Pancasila yang sebenar-benarnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan tantangan saat ini. Untuk itu, dibutuhkan lembaga yang kuat untuk operasionalisasi Pancasila. Selama ini, tidak ada lembaga yang benar-benar kuat untuk memastikan Pancasila menjadi pedoman bersama dalam bernegara.
Hal ini mengemuka dalam webinar “RUU Pelaksanaan Ideologi Pancasila” yang digelar Bergelora.com bersama Rich & Famous Institute di Jakarta, Rabu (8/7/2020). Sejumlah narasumber dalam webinar itu, antara lain, Dr. Ari Sujito, Sosilog dari Universitas Gadjahmada (UGM) di Yogyakarta; Arief Poyuono, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, di Jakarta; Maruly Hendra Utama, Dosen Fisipol Universitas Lampung (UNILA) di Lampung; Salamuddin Daeng dari Peneliti dari Universitas Bung Karno (UBK) di Jakarta; Mazmur Simamora dari Front Aksi Mahasiswa Semanggi (FAMSI) di Jakarta; Roy Pangharapan dari Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) di Jakarta; Isroil Samiharjo, Mantan Direktur Nubika, Badan Intelejen Negara (BIN) di Jakarta; dan Fendry Panomban, Aktivis 98, Sekjen Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP) di Luwuk.
Wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono, mengatakan, selama ini Pancasila hanya ada dalam pembukaan UUD 1945, tidak ada dalam pasal-pasal UUD 1945. Hal ini menyebabkan, nilai Pancasila tidak dapat dilaksanakan dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Sebenarnya setiap warga negara harus dipaksa untuk mematuhi Pancasila, karena itu merupakan ideologi negara. Tapi, kan hanya ada dalam pembukaan, tidak ada dalam pasal-pasal, jadi memang tidak bisa dipaksakan pelaksanaannya dalam kehidupan bernegara,” kata Arief.
Arief mengatakan, keinginan untuk memperkuat pelaksanaan Pancasila memang sangat wajar, kalau memang konsisten Pancasila sebagai ideologi negara.
“Kita membutuhkan UU yang memperkuat pelaksanaan Pancasila. Ini tidak berarti Pancasila berada di bawah UU, tapi butuh UU untuk mengatur pelaksanaan Pancasila. Butuh lembaga yang kuat. Harus ada UU yang khusus harus dijalankan setiap warga negara,” katanya.
Menurutnya,perdebatan yang terjadi belakangan ini di masyarakat sudah keliru, karena bagaimana mungkin orang bicara Pancasila tapi justru isu dibelokkan ke komunis yang muncul,” ujarnya.
Dalam praktek selama ini, katanya, hanya organisasi politik atau organisasi masyarakat yang mencantumkan Pancasila sebagai azas organisasi, tapi tidak ada UU yang tegas menyatakan Pancasila sebagai dasar negara. “Menurut saya sangat penting adanya UU yang memperkuat pelaksanaan Pancasila. UU itu harus wajib ditaati dan dilaksanakan setiap warga negara,” tegas Arief.
Sementara itu, Pengamat Politik dari Unila Lampung, Maruly Hendra Utama, juga senada dengan Arief Poyuono. Menurutnya, Pancasila sebagai ideologi diterima semua pihak. Namun, dalam praktek bernegara seringkali ditemukan berbagai kenyataan yang justru tidak menunjukkan nilai Pancasila. Hal-hal seperti ini, katanya, yang seharusnya menjadi perhatian semua. Dia mengatakan, Pancasila tidak boleh hanya sekadar diucapkan dan ditulis, tapi harus benar-benar dilaksanakan.
“Tapi tidak ada lembaga yang memastikan pelaksanaan Pancasila. Kemana harus diadukan kalau ada praktek yang dianggap tidak sesuai Pancasila. Saya kira, harus ada lembaga yang dijadikan tempat untuk mengadu, untuk mengawasi dan memastikan setiap praktek bernegara sejalan dengan Pancasila,” tegas Maruly.
Kalau tidak ada lembaga yang kuat, katanya, ketika ditemui praktek atau kebijakan yang tidak sesuai Pancasila, maka tidak ada yang bisa persoalkan. Untuk itu, kata Maruly, sangat dibutuhkan lembaga yang dapat memastikan operasionalisasi Pancasila, sehingga warga negara bisa mengadukan kalau ada persoalan yang bertentangan dengan Pancasila.
“Kita butuh lembaga yang kuat untuk operasional Pancasila. Kalau tidak ada, ya tidak bisa kita memastikan itu,” tegasnya.
“Saat ini yang terpenting adalah sebuah undang-undang yang memastikan pelaksanaan Pancasila itu sendiri dalam sistem ekonomi, politik hukum, sosial dan budaya Indonesia. Lembaga pembinaan implementasi ideologi perlu dipastikan, kewenangan dan arahnya. Dengan memastikan lembaga ini maka akan memberi makna nyata Pancasila secara praksis bagi rakyat, bangsa dan negara,” demikian sosiolog Dr. Arie Sujito dari Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta dalam acara tersebut.
Menurutnya Pancasila tidak cukup menjadi haluan dan pembina namun harus bisa diterapkan agar semua sistim kehidupan berbangsa dan bernegara selaras dengan Pancasila.
“Jangan sampai negara Pancasila, tetapi terus membiarkan sistim politik yang dikuasai oleh pemilik modal apalagi asing secara berlebihan. Jangan sampai ekonomi Pancasila, tapi selalu mengorbankan ekonomi rakyat. Jangan sampai justru kebudayaan leluhur nusantara dihancurkan kebudayaan asing dengan penyempitan agama dan etnis. Jangan sampai sistim hukum kita dikuasai oleh kepentingan uang dan mengorbankan mayoritas rakyat. Inilah momentum agar Pancasila memilik Undang-undang pelaksanaan yang aplikatif dan orientasinya berwatak Pancasilais,” tegasnya.
Tentu menurutnya dibutuhkan sebuah lembaga yang kuat yang memastikan semua kehidupan berbangsa dan bernegara selaras dengan Pancasila. Lembaga inilah yang memastikan kelangsungan negara Pancasila tetap dalam setiap pemerintahan dimasa depan.
“Lembaga ini bukan lembaga politik, tetapi lembaga ideologi yang secara substansial mampu menselaraskan semua undang-undang, peraturan dan kebijakan yang ada di Indonesia sejalan dengan Pancasila. Sehingga otomatis jiwa dan kesaktian dari Pancasila menjadi nyata dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.
Mazmur Simamora dari Front Aksi Mahasiswa Semanggi (FAMSI) Jakarta, mengatakan, pemerintah dan DPR RI juga perlu mempertimbangkan berbagai peraturan perundangan yang justru bertentangan dengan Pancasila.
“Ada banyak praktek dan peraturan yang tidak sejalan dengan Pancasila, misalnya UU Minerba dan sebagainya. Semua itu harus diperbaiki sehingga benar-benar sejalan dengan nilai Pancasila,” ujarnya.(op-9)