Fakfak– Masyarakat terus mengeluhkan pungutan biaya rapid test ditengah wabah Corona saat ini. Salah satunya yang dilaporkan Andry Laritembun, Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Kota Fakfak di Papua Barat. Ia melaporkan keberatan masyarakat yang dipungut biaya rapid test di klinik dan praktek dokter sebelum akan melakukan perjalanan. Sementara rumah sakit setempat tidak melakukan pelayanan pemeriksaan.
“Ini sudah sangat keterlaluan jika dalam pemeriksaan rapid test Corona harus dikenakan biaya sebesar Rp. 600.000 sampai dengan Rp. 1.000.000. Masyarakat untuk mata pencaharian saja sudah terganggu karena dampak Corona. Jadi jangan tambah menindas rakyat juga dengan pemberlakuan penarikan biaya tersebut,” ujarnya kepada Pers di Fakfak, Papua Barat, Jumat (12/6).
Ia mempertanyakan dana yang besar dari pemerintah pusat untuk penanggulangan wabah Corona, namun masih memungut biaya pemeriksaan dari masyarakat.
“Tanggung jawab negara dan pemerintah patut dipertanyakan. Karena jika pemberlakuan penarikan biaya rapid tes nya tetap berjalan maka disitulah negara dan pemerintah sudah tidak mampu untuk memberikan hak hidup kepada rakyatnya,” tegasnya.
Ia menjelaskan, sudah ratusan orang yang meminta kepada DKR Kabupaten Fakfak agar dapat melakukan pendampingan kepada mereka yang akan melakukan perjalanan baik ke Sorong maupun ke Ambon dan kepulauan Maluku.
“Namun temuan dilapangan penarikan biaya dalam pemeriksaan rapid test bukan murah tapi sangat berat,” jelasnya.
Ia sangat menyayangkan karena pemerintah tidak mau tahu warga yang perlu melakukan kepulangan menuju kota asal adalah warga masyarakat yang terkena dampak lockdown bukan satu atau dua minggu tetapi sudah memasuki bulan ke tiga.
“Sekarang kita pertanyakan kembali ke pemerintah pusat apakah tahu akan hal ini ataukah pura-pura buta. Ini adalah kondisi yang dialami oleh masyarakat yang sudah tertahan 3 bulan di Kabupaten Fakfak,” jelasnya.
Sementara itu masyarakat tersebut sudah kehabisan uang makan dan kebutuhan sehari-hari sehingga tidak mampu membayar biaya rapid test sebesar Rp 1.000.000.
“Jika dipaksakan maka penarikan biaya adalah secara melakukan penindasan terhadap rakyatnya ditengah wabah Corona,” tegasnya.
Menurutnya DKR Kabupaten Fakfak akan terus mendampingi dan memantau perkembangan di lapangan dan melaporkan langsung ke pemerintah pusat pelayanan kesehatan berbayar ini.
“Kalau dibiarkan maka pemerintah dan negara telah Melanggar Undang-Undang No 36 Tahun 2009. Jangan mengambil keuntungan dari rakyat pada masa pandemic Corona,” tegasnya. (op-7)