Waikabubak-Kurang lebih sudah 5 bulan terakhir ini virus African Swine Fever (ASF) menyerang babi hampir di semua daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Diperkirakan ratusan ribu ekor babi mati cuma-cuma tanpa pengobatan memadai dari petugas kesehatan hewan.
“Pemerintah Daerah tidak bisa berbuat banyak, karena keterbatasan anggaran untuk pengadaan obat-obatan dan peralatan yang diperlukan. Kementerian Pertanian harusnya bertindak dan turun tangan membantu mengatasi masalah ini,” jelas Koordinator Solidaritas Sumba, Simon Malo Kii kepada wartawan, Minggu (3/5/2020).
Menurut Simon, keadaan ini telah mengancam ekonomi rakyat di NTT, karena usaha ternak khusunya ternak babi selain sejumlah pengusaha ternak babi skala besar, setiap keluarga di NTT rata-rata memilih berternak babi sebagai salah satu usaha rumahan yang mendukung perekonomian keluarga serta memiliki mata rantai ekonomi yang saling terkait, mulai dari peternak, penjual pakan, obat-obatan dan sebagainya.
Pengusaha dan peternak babi, kata Simon, juga menjerit karena hanya bisa pasrah menyaksikan babi bertumbangan. Daerah tak berdaya untuk melakukan pencegahan dan pengobatan, karena berbagai keterbatasan. Dia menambahkan, penduduk NTT sebagian besar mengantungkan hidupnya dari pertanian lahan kering, serta beternak babi merupakan salah satu usaha yang mendukung ekonomi keluarga.
“Maka dengan kondisi ini Maka dengan kondisi ini telah mengancam perekonomian rakyat di seluruh wilayah NTT. Menteri Pertanian diminta untuk mengambil sikap dan tindakan darurat, karena virus ini sangat terasa di kalangan masyarakat NTT,” katanya.
Menurut Simon, sejauh yang dilihatnya, tidak ada langkah-langkah konkrit untuk mengatasi virus babi yang sedang mewabah di NTT. Virus babi ini sebelumnya telah menyerang daerah Sumatera sampai ke Bali. Kalau saja pemerintah melakukan penangan dan pencegahan secara massif mestinya tidak akan terjadi di NTT.
“Kalau saja pemerintah melakukan pencegahan secara dini dan masif waktu wabah terjadi di Sumatera dan Bali, mungkin saja wilayah NTT luput atau tidak seperti sekarang ini. Sekarang ini sudah hampir ratusan ribu ekor babi mati cuma-cuma tanpa memiliki nilai ekonomi. Khususnya di Pulau Sumba mulai dari babi yang harga Rp 1 juta sampai puluhan juta mati begitu saja” ujar Simon
Kebutuhan babi di Indonesia umumnya cukup tinggi dan khusunya di NTT yang menyatu dan mengikat dengan urusan adat dan budaya maka peluang berternak babi menjadi salah satu pilihan usaha rumahan warga NTT. “Melalui usaha ternak babi warga masyarakat bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai perguruan tinggi. Dengan kondisi sekarang ketika virus babi mewabah, maka yang menjadi korban adalah anak-anak yang sedang sekolah/kuliah teramcan tidak bisa membayar uang kuliah, uang makan dan uang kost,” katanya.
Simon mengatakan, perlu ada solusi darurat, sehingga wabah virus yang menyerang babi ini tidak mengancam pembangunan sumber daya manusia yang mana banyak anak-anak NTT yang sekolah dan kuliah karena orang tua mereka memelihara babi. “Banyak orang tua menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi dari hasil memelihara babi. Sekarang harapan itu sirna untuk mengirim biaya kuliah ataupun mempersiapkan biaya kuliah anak-anak. Dan ini adalah masalah serius,” katanya.
Selain itu, dari hasil penjualan babi ini juga digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan ekonomi dan social budaya yang tinggi. “Tapi sekarang, usaha berbulan-bulan bahkan tahunan ditekuni oleh mereka, hilang begitu saja karena virus yang sangat ganas. Kematian babi ini akan berdampak kepada anak kuliah, karena orang tuanya kesulitan mengirimkan biaya,” ujar Simon.
Stepanus Makabombu, jaringan Solidaritas Sumba, mengharapkan, semua pihak bersatu dapat mengambil sikap dan langkah-langkah konkrit terkait solusi yang dapat dilakukan untuk meredahkan penyebaran virus babi ini, termasuk pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pertanian.
“Kami di NTT bukan hanya masalah mencegah covid-19, tapi juga berhadapan dengan kasus deman berdarah dan virus babi. Ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, sehingga kita butuh perhatian dan sikap yang serius dari pemerintah pusat,” jelasnya.
Menurutnya, tiga persoalan (covid, DBD dan virus babi) di NTT ini berpotensi membuat NTT semakin tertinggal. “Tidak ada kasus-kasus ini saja, NTT ini masuk kategori provinsi termiskin ketiga di Indonesia. Kita butuh upaya lebih yang terukur dan tepat sasaran, sehingga bisa menyelamatkan ekonomi rakyat,” tuturnya.
Simon mengatakan, yang paling penting menyelamatkan pendidikan anak-anak sampai perguruan tinggi. Jadi, harus ada komitmen untuk memastikan tidak ada anak-anak yang putus sekolah karena alasan covid-19 dan virus babi.
“Babi yang hendak dijual mati, sementara orang tua tidak terlalu produktif karena alasan covid-19, ini sangat berat, sehingga butuh adanya jaminan sosial atau bantuan sosial yang tepat sasaran,” tegasnya.
African swine fever (ASF) adalah penyakit virus parah yang menyerang babi dan telah menyebabkan kerugian produksi babi dan ekonomi. Virus yang menyerang sejak 2007 ini dapat ditularkan melalui babi hidup atau mati, dan produk babi. Penularan juga bisa melalui makanan yang terkena virus, pakaian, peralatan dan sebagainya.(op-6)