Covid-19 Memicu Teori-teori Konspirasi. Ini Masalah Serius yang Bisa Bahayakan Nyawa

by -

COVID-19 memicu teori-teori konspirasi. Ini masalah serius yang bisa bahayakan nyawa

Angelina Bambina / Shutterstock

Daniel Jolley, Northumbria University, Newcastle dan Pia Lamberty, Johannes Gutenberg University of Mainz

SARS-CoV-2 terus menyebar di seluruh dunia, dengan kasus-kasus baru dilaporkan terus menerus. Yang juga menyebar sama cepatnya, tampaknya, adalah teori-teori konspirasi yang mengklaim ada aktor kuat merencanakan sesuatu yang jahat berkaitan dengan virus penyebab COVID-19 ini.

Penelitian kami terhadap teori konspirasi medis menunjukkan bahwa fenomena ini memiliki potensi untuk berdampak sama berbahayanya pada masyarakat seperti wabah itu sendiri.

Satu teori konspirasi menyebut bahwa virus ini adalah senjata biologis yang direkayasa oleh Badan Intelijen Pusat (CIA) Amerika Serikat Sebagai cara untuk berperang di Cina. Sementara teori lain yakin bahwa pemerintah Inggris dan Amerika Serikat memperkenalkan virus ini sebagai cara untuk menghasilkan uang dari vaksin.

Meskipun banyak dari teori konspirasi ini tampaknya dibuat-buat, keyakinan bahwa kekuatan jahat sedang melakukan sebuah rencana rahasia tersebar luas di setiap masyarakat. Sering kali ini berhubungan dengan kesehatan.

Sebuah jajak pendapat besar YouGov pada 2019 menemukan 16% responden di Spanyol yakin bahwa HIV diciptakan dan disebarkan ke seluruh dunia dengan sengaja oleh suatu kelompok atau organisasi rahasia.

Dan 27% responden dari Prancis dan 12% dari Inggris yakin bahwa “kebenaran di balik efek berbahaya dari vaksin sengaja disembunyikan dari publik”.

Penyebaran berita palsu dan teori konspirasi seputar wabah COVID-19 adalah masalah yang sangat serius. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan membuat laman web “myth busters untuk mencoba dan mengatasinya.

Penyebaran teori konspirasi

Penelitian menunjukkan bahwa teori konspirasi memiliki kecenderungan untuk muncul berkaitan dengan saat-saat krisis dalam masyarakat – seperti serangan teroris, perubahan politik yang cepat, atau krisis ekonomi.

Teori konspirasi berkembang dalam masa penuh ketidakpastian dan ancaman, saat kita berusaha memahami dunia yang kacau. Ini adalah kondisi yang sama yang dihasilkan oleh wabah virus, yang menjelaskan penyebaran teori konspirasi yang berkaitan dengan SARS-CoV-2.

Kondisi serupa terjadi saat terjadi wabah virus Zika pada 2015-2016. Teori konspirasi Zika saat itu mengatakan bahwa virus Zika adalah senjata biologis alih-alih kejadian alami. Penelitian yang menelusuri komentar di Reddit selama wabah virus Zika, menemukan pembicaraan konspirasi muncul sebagai cara bagi orang untuk mengatasi ketidakpastian ekstrem yang mereka rasakan terkait Zika.

Kepercayaan pada saran-saran dari para profesional dan organisasi kesehatan adalah sumber daya penting untuk menghadapi krisis kesehatan.

Namun, orang-orang yang percaya pada teori konspirasi umumnya tidak mempercayai kelompok yang mereka anggap kuat, termasuk manajer, politikus, dan perusahaan obat. Jika orang tidak percaya, mereka cenderung tidak mengikuti saran medis.

Para peneliti telah menunjukkan bahwa teori konspirasi medis memiliki kekuatan untuk meningkatkan ketidakpercayaan pada otoritas medis, yang dapat mempengaruhi kesediaan orang untuk melindungi diri mereka sendiri.

Orang yang mendukung teori konspirasi medis lebih kecil kemungkinannya mendapat vaksinasi atau menggunakan antibiotik dan lebih cenderung mengkonsumsi suplemen herbal atau vitamin. Ditambah, mereka lebih cenderung mengatakan mereka akan mempercayai saran medis dari nonprofesional seperti teman dan keluarga.

Konsekuensi fatal

Melihat temuan-temuan ini, orang-orang yang mendukung teori konspirasi tentang SARS-CoV-2 mungkin cenderung untuk tidak mengikuti saran kesehatan seperti sering mencuci tangan dengan pembersih berbahan alkohol atau sabun, atau mengisolasi diri setelah mengunjungi daerah berisiko.

Sebaliknya, orang-orang ini mungkin lebih cenderung memiliki sikap negatif terhadap perilaku pencegahan atau menggunakan alternatif berbahaya sebagai cara pengobatan. Ini akan meningkatkan kemungkinan penyebaran virus dan menempatkan lebih banyak orang dalam bahaya.

Kita sudah bisa melihat “pendekatan penyembuhan alternatif’ bermunculan – beberapa di antaranya sangat berbahaya.

Promotor teori konspirasi QAnon yang populer, misalnya, mengatakan bahwa virus ini direncanakan oleh apa yang disebut ”deep state (pemerintah bayangan)“ dan mengklaim virus dapat ditangkal dengan meminum pemutih baju.

Penyebaran teori konspirasi medis juga dapat memiliki konsekuensi parah bagi bagian masyarakat lainnya. Misalnya, selama Wabah Hitam (Black Death) di Eropa pada abad ke-14, orang-orang Yahudi dijadikan kambing hitam pandemi.

Teori konspirasi ini menyebabkan serangan kekerasan dan pembantaian komunitas Yahudi di seluruh Eropa. Wabah COVID-19 telah menyebabkan peningkatan serangan rasis di seluruh dunia yang ditargetkan pada orang yang dianggap sebagai orang Asia Timur.

Namun, mengintervensi dan menghentikan penyebaran teori konspirasi bisa dilakukan. Penelitian menunjukkan bahwa kampanye mempromosikan bantahan terhadap teori konspirasi medis cenderung memiliki beberapa keberhasilan dalam mengubah dari keyakinan konspirasi.

Permainan seperti Bad News, yang menawarkan kesempatan orang berperan sebagai produser berita palsu, telah terbukti meningkatkan kemampuan orang untuk melihat dan menolak informasi yang salah.

Teori konspirasi bisa sangat berbahaya bagi masyarakat.

Teori-teori ini tidak hanya dapat mempengaruhi pilihan kesehatan orang, mereka juga dapat mengganggu cara berbagai kelompok yang berbeda saling berhubungan serta meningkatkan permusuhan dan kekerasan terhadap mereka yang dianggap “bersekongkol”.

Jadi, selain bertindak untuk memerangi penyebaran SARS-CoV-2, pemerintah juga harus bertindak untuk menghentikan kesalahan informasi dan teori konspirasi yang berkaitan dengan virus agar tidak lepas kendali.

Aisha Amelia Yasmin menerjemahkan artikel ini dari bahasa InggrisThe Conversation

Daniel Jolley, Senior Lecturer in Psychology, Northumbria University, Newcastle dan Pia Lamberty, PhD Researcher in Social and Legal Psychology, Johannes Gutenberg University of Mainz

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.